Light Red Pointer

Repeat... Sleep, Eat, Love, Peace, Code, Pray Until... Die.

Wednesday, 11 November 2015

Teknik Menampilkan Film dengan Dolby3D







Dolby 3D  merupakan teknologi terbaru untuk integrasi film berformat 3D. Teknologi Dolby 3D menggunakan polarisasi 3 warna yang terlihat dari kacamatanya (merah, hijau, hitam) yang menggunakan lensa khusus dan tidak perlu menggunakan layar khusus untuk memproyeksikan gambar dalam film.



Anaglyph
Teknik yang paling awal dan sederhana ini cukup sukses diawal-awal zaman keemasan film 3D. Hanya dengan kaca mata merah-sian (biru muda), sudah dapat memfilter gambar kiri dan kanan pada layar putih di gedung bioskop. Teknik ini juga tidak memerlukan projektor khusus, cukup hanya satu projektor film (celuloid) ataupun Digital Cinema sudah bisa memainkan film 3D. Hal ini dimungkinkan karena materi film

lah yang berformat anaglyph. Disamping kemudahannya, memang ada kekurangannya yaitu warna film menjadi terdistorsi khususnya pada gambar disparity yaitu gambar rangkap 2 yg terpisah krn adanya beda paralax akan berwarna merah dan cyan  berdampingan. Warna yg timpang tsb membuat penonton tidak cukup  nyaman untuk menonton film panjang, dimana mata kiri selalu melihat dng kaca mata filter merah dan kanan dng kaca mata sian. 

Polarisazed  (polarisasi)
Tenik ini muncul di awal thn 50-an, dengan prisip bahwa sinar dapat diatur rambatannya dengan sudut kutub tertentu. Sehingga dua gambar stereoskopis bisa difilter dengan kutub yg berbeda. Umumnya mata kiri dengan kutub 0 derajat dan kanan 90 derajat (ada juga yg -45 dan 45). Gambar kiri dan kanan bertumpang tindih pada layar akan disaring dengan sempurna sesuai sudut kutub pada kacamata yg dikenakan penonton. Teknik polarisasi ini membuat penonton merasa nyaman krn film disajikan dalam tata warna penuh. Adegan-adegan film 3D menjadi lebih nyata. Hanya saja teknik ini merepotkan atau memerlukan biaya tambahan bagi pihak bioskop. Teknik mengharuskan memakai dua projetor kembar (baik yg Digital Cinema ataupun analog -film celuloid) dan layarnya harus khusus pula, yaitu silver screen. Ini dimaksud agar sinar terpolarisasi tsb sampai sempurna ke kacamata penonton. Repotnya lagi, setelah bioskop dibuat untuk 3D selanjutnya tdak cocok lagi untuk memutar film biasa (2D), krn layar perak tadi menjadi tidak nyaman. Biasanya teknik polarisasi ini sering dipakai pada gedung bioskop yg hanya khusus memutar film 3D saja.  

Liquid Crystal Display (LCD) Shutter
Teknik ini lebih cocok hanya untuk Digital Cinema. Dan tidak perlu layar perak atau dua projector selama pemutaran film 3D. Hal ini memungkinkan karena gambar kiri dan kanan ditampilkan tidak secara bersamaan spt teknik polarisasi diatas, melainkan bergantian sangat cepat 144 frame/detik. Agar mata kiri hanya menangkap gambar informasi kiri, diperlukan kacamata LCD shutter yg akan berkedip bergantian untk memblokir mata kanan dan kiri bergantian sehingga serempak dng tampilan gambar kiri-kanan di layar bioskop. Hasilnya cukup menyakinkan, film 3D mampu tampil dng warna penuh seperti halnya teknik polarisasi. Hambatan dari teknik ini adalah biaya kacamata yg menjadi mahal dan memerlukan rangkain elektronik yg aktif (memerlukan bettery, kabel sycn atau freq radio) pada setiap kacamata yg dipakai penonton. Dan kekurangan lainnya yg sering terjadi, teknik ini tidak handal untuk gedung bioskop dng kapasitas lebih dari 200 orang. Selain biaya mahal juga tidak bisa menjamin semua kaca mata tidak kehabisan battery atau kedipannya tidak sinkron dng tampilan gambar di layar. Yg jelas kaca mata LCD tidak seringan dan semurah anaglyph atau polarisasi di atas.

Source:

No comments:

Post a Comment

© Fiyu Ang , AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena